Asal-usul Nama Sunda

Sejarah di balik nama yang membentuk identitas kebudayaan Sunda

Peta Insulae Iavae Pars Occidentalis Edente Hadriano Relando, 1753, Gerard van Keulen (1678-1726).

Ketika membahas asal-usul nama Sunda, kita harus melihat ke masa lalu terlebih dahulu. Sunda, selain dikenal sebagai salah satu nama suku di Indonesia yang mendiami wilayah bagian barat pulau Jawa, secara historis juga merujuk kepada kerajaan kuno yang pernah berdiri pada abad ke-10. Kerajaan Sunda adalah penerus dari Kerajaan Tarumanagara yang berkuasa di bagian barat pulau Jawa.

Sunda juga dapat merujuk pada istilah dalam geologi untuk menyebut landas kontinen perpanjangan lempeng benua Eurasia di Asia Tenggara, yang massa daratan utamanya meliputi Semenanjung Malaya, Sumatra, Jawa, Madura, Bali, dan pulau-pulau kecil di sekitarnya.

Etimologi Sunda

Menurut G.P. Rouffaer, nama Sunda berasal dari istilah bahasa Sanskerta yaitu “Suddha” yang mempunyai pengertian murni, bersih, putih. Dalam bahasa Jawa Kuno (Kawi) dan bahasa Bali pun terdapat kata Sunda, dengan pengertian bersih, suci, murni, tak tercela/bernoda.

Nama Sunda juga dikenal dalam wiracarita Mahabharata, merujuk pada tokoh asura bersaudara bernama Sunda dan Upasunda yang dikenal sakti karena menerima anugrah kekebalan dari Dewa Brahma.

Selain itu, ahli geologi Belanda, Reinout Willem van Bemmelen, mengungkapkan bahwa Sunda adalah suatu istilah yang digunakan untuk menamai daratan di bagian barat laut India Timur, sedangkan daratan bagian tenggaranya dinamai Sahul.

Sunda Dalam Sumber Sejarah

Nama Sunda disebutkan dalam berbagai sumber sejarah baik itu berupa prasasti, naskah maupun berita asing. Berikut ini sumber sejarah yang menyebutkan nama Sunda, di antaranya adalah:

Prasasti 

Bukti tertulis tertua yang menyebutkan toponimi Sunda adalah prasasti Kebonkopi II, yang berangka tahun 854 Śaka (932 M). Prasasti Kebonkopi II ditemukan di Kampung Pasir Muara, Desa Ciaruteun Ilir, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, pada abad ke-19 ketika dilakukan penebangan hutan untuk lahan perkebunan kopi.

Pakar F.D.K. Bosch, yang sempat mempelajarinya, diketahui bahwa prasasti ini ditulis dalam bahasa Melayu Kuno, dan pada prasasti tersebut ditemukan kalimat “…ba(r) pulihkan hajiri sunda…”. Kalimat ini diartikan sebagai “memulihkan Raja Sunda”.

Prasasti lebih muda yang menyebut nama Sunda yaitu prasasti Sanghyang Tapak, yang terdiri dari empat batu prasasti dengan tarikh tahun 952 Śaka (1030 M). Prasasti ini ditemukan di tepi Sungai Cicatih, Cibadak, Sukabumi, Jawa Barat. Tiga diantaranya ditemukan di dekat Kampung Bantar Muncang, sementara sebuah lainnya ditemukan di Kampung Pangcalikan.

Prasasti Sanghyang Tapak ditulis menggunakan aksara Kawi dan bahasa Jawa Kuno. Dalam prasasti ini ditemukan kalimat “…ginaway denira shri jayabhupati prahajyan sunda…” yang berarti “dibuat oleh Sri Jayabhupati raja Sunda”.

Nama Sunda juga disebutkan dalam prasasti Horren, yang ditemukan di Kecamatan Campur Darat, Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur. Prasasti ini diperkirakan berasal dari abad ke-11. 

Prasasti Horren menyebutkan adanya persinggungan antara kerajaan Jawa dan Sunda, di mana dalam prasasti ini ditemukan kalimat “…datang nikanang çatru sunda…” yang berarti “datanglah musuh (dari) Sunda”.

Naskah

Selain dalam bentuk batu tulis atau prasasti, nama Sunda juga tercatat dalam naskah-naskah kuno. Naskah tersebut di antaranya adalah naskah Sanghyang Siksa Kandang Karesian (kropak 630). Naskah ini memiliki candrasangkala nora catur sagara wulan atau sama dengan tahun 1440 Śaka (1518 M). 

Naskah Sanghyang Kandang Karesian ditulis menggunakan aksara Buda dan bahasa Sunda Kuno. Dalam naskah ini ditemukan kalimat “…anggeus ma urang pulang deui ka Sunda, hanteu bisa carék Jawa…” yang berarti "setelah kita kembali ke Sunda, tidak dapat berbicara bahasa Jawa”.

Nama Sunda juga termaktub dalam naskah Amanat Galunggung (kropak 632). Naskah ini diperkirakan disusun pada abad ke-15, ditulis pada daun lontar dan nipah menggunakan aksara Buda dan bahasa Sunda Kuno.

Dalam naskah Amanat Galunggung pada bagian recto terdapat kalimat “…jaga dapetna pretapa dapetna pegengön sakti, bönangna (ku) Sunda, Jawa, La(m)pung…” yang berarti “waspadalah kemungkinan direbutnya kemuliaan (kewibawaan) dan pegangan kesaktian (kejayaan) oleh Sunda, Jawa, Lampung”.

Naskah berikutnya yang menyebut nama Sunda yaitu naskah Bujangga Manik. Naskah ini diperkirakan disusun pada akhir abad ke-15, ditulis pada daun nipah menggunakan aksara dan bahasa Sunda Kuno.

Dalam naskah Bujangga Manik ditemukan kalimat “Sadatang ka tungtung Su(n)da, meu(n)tasing di Cipamali, datang ka alas Jawa” yang berarti “Setelah mencapai ujung dari Sunda, menyeberangi sungai Cipamali, tibalah di daerah Jawa”.

Sedangkan naskah lebih muda yang menyebut nama Sunda adalah naskah Carita Parahyangan (kropak 406). Naskah ini disusun pada akhir abad ke-16, ditulis pada daun lontar menggunakan aksara dan bahasa Sunda Kuno.

Dalam naskah Carita Parahyangan terdapat beberapa kalimat yang menyebutkan tentang “tohaan di Sunda” yang berarti “yang dipertuan di Sunda”.

Sumber naskah-naskah lokal ini memberikan referensi mengenai nama Sunda. Selain naskah, nama Sunda juga disebutkan dalam berita-berita asing.

Berita asing

Berdasarkan catatan sejarah, nama Sunda pernah disebutkan dalam sumber berita asing. Pada tahun 1225, seorang penulis Tionghoa bernama Zhào Rŭkuò, dalam laporannya “Zhū Fān Zhì”, menjelaskan tentang adanya pelabuhan xīntuō (Sunda) yang kemungkinan merujuk pada pelabuhan Kalapa. 

Di samping sumber Tiongkok, berita asing dari Portugis juga menyebutkan istilah Sunda. Sumber Portugis tersebut di antaranya adalah “Suma Oriental” karya Tomé Pires (1512-1515), menyebut adanya kerajaan di barat pulau Jawa yang mengadakan hubungan dagang dengan Portugis bernama “regño de çumda” yang berarti “Kerajaan Sunda”.

Sementara itu, Duarte Barbosa dalam buku karyanya yang berjudul “O Livro de Duarte Barbosa” (1516) menyebutkan “…çunda que tem muita pimenta…” yang berarti “Sunda yang memiliki banyak lada”.

Tampaknya sekitar abad ke-13 hingga abad ke-16, nama Sunda mulai digunakan oleh orang asing, mungkin penjelajah ataupun pedagang, serta tetangga Jawa, sebagai toponim untuk mengidentifikasi bagian barat pulau Jawa.

Sunda Dalam Istilah Geologi

Penggunaan istilah Sunda sebagai acuan untuk wilayah kepulauan di Nusantara dimulai dari buku “The Geography” yang ditulis sekitar tahun 150 M oleh Claudius Ptolemy. Dalam buku tersebut, ia menyebut istilah “Sundae” (Sindae juga disebutkan sebagai variasi dari nama Sunda dalam catatan Ptolemy) yang terdiri dari tiga pulau, dan ditambahkannya komentar bahwa beberapa orang mengatakan ada lima pulau. Catatan Ptolemy ini dianggap sebagai acuan oleh para penjelajah Eropa untuk mengidentifikasi wilayah kepulauan di sebelah tenggara India.

Terkait dengan kata “Sunda” yang tertulis sebagai “Sindae” dalam buku Ptolemy, sejarawan lain seperti Arnold Hermann Ludwig Heeren (1760-1842), seorang sejarawan Jerman, dalam bukunya “Historical Researches into the Polics, Intercourse, and Trade of the Principal Nations of Antiquity” memberikan komentar yang sepertinya juga memaklumi adanya sedikit perbedaan tersebut.

Sedangkan dalam kartografi Prancis, Kepulauan Sunda dikenal dengan istilah “Isles de la Sonde”, yang mana secara kasar diterjemahkan sebagai “kepulauan [tempat] eksplorasi”.

Ketika bangsa Portugis datang ke Nusantara, mereka menjelajahi bagian barat pulau Jawa, yang pada saat itu dikuasai oleh Kerajaan Sunda. Oleh karena itu, mereka mengenal wilayah ini sebagai Sunda. Selain itu, dalam kartografi mereka, Sunda dibagi menjadi dua bagian, yaitu Soenda Mayor mengacu pada pulau-pulau di bagian barat yang berukuran besar, dan Soenda Minor mengacu pada pulau-pulau di bagian timur yang berukuran kecil.

Parallax Ad
Link copied to clipboard.